Ketika matahari bersiap akan muncul dari balik garis batas laut, pagi itu, seorang gadis kecil dengan memakai celana pendek berwarna oranye telah berdiri di bibir pantai. Rambutnya diikat ke belakang, tapi kurang rapi. Bajunya selalu begitu. Selalu kemeja kotak-kotak lengan panjang dengan kancing atas sedikit terbuka demi memperlihatkan lapis di dalam yang berwarna hitam. Jiwanya hampir saja meledak, sudah lama dia tidak mencium aroma laut dan merasakan angin yang berhembus kencang menampar-nampar pipinya yang kemerahan. Lidah ombak yang tersisa di bibir pantai telah membasahi kakinya. Ya, sepasang kaki yang telah lama gatal karena merindukan air yang mengandung garam. Kedua tangannya dia rentangkan sambil tersenyum merekah ketika detik-detik itu tiba : bola api raksasa muncul perlahan dari garis batas laut.
Itulah dunianya. Sebuah dunia yang indah karena berkawan dengan
gerombolan ikan, lumba-lumba, burung camar, gemuruh ombak, beningnya air, matahari
yang bersinar hangat sepanjang hari, kerang, terumbu karang, dan angin yang
bertiup genit. Baginya, dunia seperti itu adalah firdaus yang membebaskan, ya
surga yang berhasil melepaskan semua energi hitam hidupnya yang diprodukasi
oleh rutinitas kerja, kejenuhan interaksi, semakin sumpeknya lingkungan kota,
dan mungkin relationship yang hancur berantakan karena tidak setiap jiwa dilahirkan
sempurna.
Siapa yang tega merampas dunia indahnya itu?. Aku tidak
berhak menjawab pertanyaan tersebut, yang aku lakukan hanya duduk di balik
jendela yang terbuka, pemandangan lurus ke laut, dan dengan takzim
memperhatikan kegembiraannya yang sedang berlari atau berenang tidak jauh dari
bibir pantai. Sambil duduk menghadap meja dan menulis, aku selalu waspada,
khawatir jika dia berenang terlalu ke tengah sementara ombak besar datang
tiba-tiba. Kusulut cigarette dan asap berhamburan keluar jendela. Gadis kecil
itu melambai-lambaikan tangannya dari jauh sambil berlari-lari gembira. Dia
memanggil-manggil namaku, barangkali mengajak aku bergabung dengannya untuk
bermain di pantai itu, tapi suaranya terlalu kecil karena angin berhembus
terlampau kencang.
Aku hanya tersenyum dari balik jendela lalu membalas
lambaian tangannya. Aku terus menulis sambil sesekali melihat gadis kecil itu. Ketika
hari terus beranjak, dan senja perlahan dijemput malam, saat bola api raksasa
kembali tenggelam di balik garis batas laut, aku pergi ke pantai dan
memanggilnya, “Pulang sayangku, sudah hampir malam.” [ ]
No comments:
Post a Comment