Saya harus mengawali catatan ini dengan meminta maaf kepada Atta di
negeri-senja.com, karena dengan sengaja dan tanpa ijin darinya saya
menyalin beberapa paragraph tulisannya. Alasannya sederhana saja;
tulisannya bagus, menurut saya. Dengan maksud menghemat space, maka
beberapa paragraph yang sebenarnya sengaja Atta buat
untuk—mungkin—menimbulkan daya “hantam” yang kuat, terpaksa saya gabung
menjadi lebih sedikit. Maka inilah tulisannya yang saya “curi” itu :
Kapan terakhir kali saya tertegun mendengar azan? Diam, dan
meresapi seruan itu masuk ke indera dengar saya. Merasakan sesuatu yang
bergetar, jauh di dalam sana. Di hati. Minggu lalu. Di sebuah ruangan
berpendingin udara, dengan barisan bangku merah menghadap ke layar
putih besar. Azan itu terdengar jelas dari tempat saya duduk, di baris
kelima. Tidak lama. Hanya sepenggal saja.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Muazin itu melantunkan azan dari atap mobil. Dan
dari tempat saya duduk, mata saya tak lepas menatap layar putih. Gambar
bergerak, muazin tadi berganti menjadi rombongan orang-orang dalam
pakaian ihram. Suara azan itu lamat-lamat menghilang.Hanya
sepenggal.Tapi dari tempat saya duduk, saya merasakan sesuatu yang
bergetar, jauh di dalam sana. Di hati. Sudah lama sekali saya tidak
pernah merasakan azan yang menggetarkan. Mungkin karena azan didengar
setiap hari. Dari pengeras suara masjid dekat rumah, masjid belakang
kantor, televisi. Azan datang dan saya mendengarkannya sambil mengetik,
sambil chatting, sambil menatap layar komputer, sambil berjalan mengisi kembali gelas air putih yang kosong, sambil browsing.
Jumat, satu minggu lalu. Di Graha Bakti Budaya, adegan sepenggal azan dalam film Le Grand Voyage itu
membuat saya bergetar. Hanya itu? Tentu tidak. Film berdurasi 108
menit besutan Ismael Farruekhi ini juga memberikan pengalaman batin
yang lainnya. Saya menyebutnya dengan nutrisi jiwa. Film ini bercerita
tentang perjalanan Reda mengantar sang ayah pergi haji lewat jalan
darat, naik mobil, dari Perancis menuju Arab Saudi. Dalam film
dituturkan konflik yang terjadi sepanjang perjalanan ayah dan anak itu,
dan bagaimana mereka mengatasinya. Bahasa gambar yang dipilih sangat
sederhana. Cuma butuh satu kata untuk beberapa potongan dialog di film
ini: dahsyat!. Le Grand Voyage menjadi pembuka dari Jakarta International Film Festival (JiFFest).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pesta film sepanjang 9 hari ini
menyuguhkan tontonan yang berbeda. Puluhan film dari berbagai negara
bisa ditemukan di sini. Setiap harinya, di 12 tempat yang berbeda,
rangkaian gambar bergerak itu diputar, tidak hanya memanjakan mata tapi
juga jiwa.
Atta hanyalah salahsatu dari ribuan penonton film yang dengan sangat
antusias menikmati JIFFest setiap tahunnya. Semenjak digelar tahun
1999, festival film ini memang memberikan tontonan alternative di
tengah dominasi film-film Holliwood dan lesunya industry film nasional.
Saya tak hendak bertutur mengenai sejarah festivsl film ini, tapi
hanya ingin membakar sumbu yang tadi siang pemantiknya sudah dinyalakan
oleh seorang kawan. Di sebuah jejaring social dia menulis :
tadi telpon cp nya, katanya jiffest taun ini ga ada.. saya boleh ketawa ga?? hahahahahahaaaa... parah.....
Sebelumnya saya memang sudah curiga, sebab di situs resminya---sudah
berkali-kali---saya membaca bahwa JIFFest 2011 akan diadakan tanggal
14-24 Oktober, tapi di bawah tanggal tersebut ada tulisan yang
mengundang H2C; “Stay tuned for updates”. Dan petualangan di Google
akhirnya dibungkam oleh info dari kawan yang menulis di jejaring sosila
tersebut. Tiba-tiba saya menjadi teringat Afrizal Malna. Dalam
salahsatu novelnya yang berjudul Lubang Dari Separuh Langit,
dia menulis; “Novel untuk saya adalah dunia di mana manusia seperti
memiliki kesempatan untuk masuk kedalam ususnya dan meledakan
dengkulnya menjelang tidur”. Damn. Kata-kata yang bagai ledakan bom itu
tiba-tiba saya rasakan ketika tahu bahwa JIFFest 2011 gagal
diadakan!!. Saya lari ke account Twitter, dan tidak mendapati informasi
apa-apa selain ucapan selamat kepada film The Raid yang berhasil
menang di Festival Film Toronto.
Saya belum lama mengenal JIFFest, hanya beberapakali saja
mendengarnya. Tahun 2009 adalah permulaan. Penghelatan yang ke-11 itu
berhasil saya ikuti dengan melahap beberapa film. Hal ini saya rekam
dalam sebuah catatan yang berjudul 3 Hari di Festival Film (Dari Provinsi Xinjiang sampai humor purba di Taman Lawang).
Memang harus diakui bahwa JIFFest berhasil menyuguhkan film-film yang
beragam, menghibur, dan “mencerahkan”. Dan satu hal lagi, bahwa
kenyataan mayoritas film-film ini susah untuk mendapatkan DVDnya, baik
yang bajakan maupun yang original. Tak terhitung berapakali saya
bolak-balik ke Gramedia Matraman, Glodok, Atrium, Blok-M, Cempaka Mas,
dan tempat-tempat lain yang dicurigai menjual kepingan-kepingan DVD,
hasilnya hanya berhasil membawa pulang beberapa film saja, diantaranya :
Departures, (500) Days of Summers, New York I Love You, Goodby Lenin,
Flame and Citron, Waiting for Superman, Inside Job, The Cove, Babel,
After The Wedding, Paris Jet’Aime, Le Tigre et La Neige, Volver, I’m Not
There, Shine A Light, Burn After Reading, Vicky Cristina Barcelona,
Buenos Aires 1977, The Namesake, Eternal Sunshine of The Spotless Mind,
Super Size Me, dan The Damned United.
Menonton festival film, buat saya, bukan untuk merasa keren, tapi
untuk merasa senang karena dapat menyalurkan hobi. Ya, hobi nonton
film. Alasan dan argumentasi apapun akan hangus tak bersisa jika
dibenturkan dengan yang namanya passion. Gairah. Maka jika
memang benar JIFFest 2011 tidak ada, inilah saat yang tepat untuk
mengibarkan bendera kuning. Entah harus menyalahkan siapa, atau mungkin
tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena mencari kambing hitam
selalu saja dicap sebagai kegiatan yang tidak menghasilkan solusi.
“Dari dalam usus, dan dalam keadaan dengkul yang sudah meledak”,
setidaknya saya harus menyempatkan untuk angkat topi bagi industry film
hantu cabul lokal yang masih mampu untuk tetap bertahan di tengah
gempuran kritikan pedas yang menyerang dari berbagai pojok media. Salut
untuk para produser dan sutradara yang bernafas panjang untuk selalu,
dan tak henti-hentinya mengorbitkan deretan hantu yang bekerja keras
bermain di layar perak.
Hiburan, kebudayaan, dan inspirasi memang bukan monopoli suatu
golongan. Setiap orang berhak untuk berjalan di jalur yang diyakininya
benar dan menguntungkan. Setiap orang berhak untuk sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing, termasuk pemerintah, termasuk orang-orang
di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, para anggota dewan, para
pegiat film, para pemodal, dan bahkan para pengantar roll film seperti
dalam Janji Joni. Termasuk juga saya yang akhirnya harus
menimbang-nimbang antara pergi ke Erasmus Huis atau hunting DVD
bajakan. Tapi anehnya saya lagi-lagi teringat sesuatu, kali ini
teringat Dian Sastro yang pernah mengutip kata-kata Charlie Kaufman
dalam film Adaptation : “You are what you love.” [ ]
itp, 14/10/11
No comments:
Post a Comment